Semester dua tahun pelajaran 2017/2018 sudah mulai sejak tanggal 2 Januari 2018. Tahun baru, semangat baru setelah dilalui dengan aktivitas liburan. Ada yang libur bersama keluarga, sanak saudara atau dengan teman dekat. Sudah menjadi sesuatu yang lumrah. Bisa terlihat aktivitas mereka di sosial media. Ada yang update status di facebook, intsgram, twitter atau whatshaps. Semua menunjukkan kecerian yang dialami.
Sebagai guru tentu selama liburan tidak hanya kebahagian liburan saja. Di balik itu ternyata ada yang menggelitik pikiran saya ketika proses penilaian. Dua minggu setelah kegiatan ulangan akhir semester bagi peserta didik yang menggunakan kurikulum 2006 dan penilaian akhir semester atau PAS bagi yang melaksanakan kurikulum 2013. Kedua kurikulum tentu ada proses penilaian. Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2006 dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2016 menyebutkan adanya penilaian itu terdiri dari penilaian dari pemerintah, satuan pendidikan dan dari pendidik.
Penilaian yang dilakukan oleh pemerintah dengan ujian nasional baik berbasis komputer (UNBK) atau ujian nasional berbasis kertas (UNKP). Untuk penilaian yang dilakukan oleh satuan pendidikan dengan ujian sekolah dan ulangan akhir semester. Sedangkan penilaian oleh pendidik adalah dengan penilaian harian.
Penilaian harian terdiri dari nilai ulangan harian berupa tes lisan atau tulisan, penugasan, proyek atau unjuk kerja. Dengan penilaian yang sudah diatur tersebut mestinya peserta didik dapat dilihat secara detail Kurikulum 2006 atau kurikulum 2013 kalau dipahami ternyata mengedepankan belajar tuntas (mastery learning). Peserta didik diukur setiap kompetensi dasar maka semestinya peserta didik akan terlihat pada kompetensi mana yang belum tuntas. Remidial merupakan tindakan agar peserta didik mencapai ketuntasan agar tercapai kompetensinya.
Kenyataan yang terjadi selama hiruk pikuk penilaian ternyata banyak guru yang dalam melakukan penilaian pengetahuan, ketrampilan maupun sosial dengan cara "mengaji" dan "dikir". Mengarang biji dalam bahasa Jawa atau mengarang nilai, dan "dikir" yang artinya dikira-kira.
Karena selama proses kegiatan belajar mengajar tidak melakukan penilaian terutama pada penilaian ketrampilan dan penilaian sikap sehingga guru cenderung melakukan perkiraan nilai. Bahkan ada yang lebih memalukan adalah seorang peserta didik sudah keluar masih muncul nilainya bahkan lebih baik dari peserta didik yang setiap hari masuk sekolah dan tertib menyelesaikan tugas-tugasnya.
Kejadian ini karena kurangnya kontrol atau pengawasan. Jika proses pengawasan supervisi kejadian ini dapat diminimalisir.
Sehingga kedepan tidak boleh lagi melakukan penilaian dengan "ngaji" dan "dikir. Guru jaman now tidak boleh melakukan hal tersebut. Sudah saatnya standar pendidikan nasional berjalan dengan baik di sekolah. Standar nasional pendidikan yang terdiri dari standar isi, standar proses, standar penilaian, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar pembiayaan, standar sarana prasarana serta serta pengelolaan harus berjalan sesuai peraturan menteri masing-masing.
Standar itu jika diterapkan sebenarnya masih dalam koridor layanan minimal. Jika menggunakan standar internasional tentu akan lebih baik lagi. Akan tetapi tidak harus menjangkau sampai standar internasional, cukup dengan melakukan standar yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Sebagai acuan tentu adalah instrumen yang ada pada akreditasi yang dikeluarkan oleh badan akreditasi nasional sekolah da madrasah (BAN S/M). Jika ini benar-benar dilakukan maka sekolah akan menjadi tertib adminstrasi maupun tertib pelaksanaan.